Berkali-kali pengemis ini bernyanyi dengan kata-kata yang itu-itu juga, suaranya halus dan cukup merdu dan sambil bernyanyi dia mengatur irama lagu dengan ketukan tongkatnya di atas tanah lunak atau kebetulan mengenai batu yang keras, ujung tongkat itu tentu membuat lubang. Kedua kakinya yang bersepatu butut itu sendiri tidak meninggalkan jejak seolah-olah dia tidak menginjak tanah akan tetapi tongkat itu membuat jejak jelas karena setiap kali melubangi tanah maupun batu. Adapun kaki itu sendiri, biarpun menginjak tanah basah, sama sekali tidak meninggalkan bekas. Beberapa menit kemudian setelah kakek aneh ini lewat, tampak berkelebat bayangan orang, juga datang dari arah timur melalui kaki bukit itu. Mereka itu terdiri dari 12 orang laki-laki dari usia tiga puluh sampai empat puluh tahun, dan seorang wanita berusia dua puluh lima tahun, berwajah manis dan bertubuh bagus dengan pinggang ramping.
12 orang laki-laki itu kesemuanya kelihatan gagah dan pakaian mereka jelas menunjukkan bahwa mereka adalah ahli-ahli silat, sedangkan gerakan mereka yang ringan cekatan membuktikan bahwa mereka bukanlah sembarangan orang kang-ouw melainkan rombongan orang gagah yang berilmu. Hal ini memang tidak salah, karena mereka itulah yang terkenal dengan julukan Cap-sa-sinhiap (13 Pendekar Sakti) murid-murid utama dari Partai Besar Bu-tong-pai! "Tahan dulu, para suheng!" Tiba-tiba wanita cantik itu mengangkat tangannya ke atas dan memperingatkan para suhengnya, kemudian dia menuding ke bawah dan berkata, "Lihat ini....!" Tiga Belas orang ini memperhatikan bekas tusukan tongkat pengemis tadi yang jaraknya teratur dan biarpun tiba di atas batu, tetap saja tampak batu itu berlubang.
"Siapa lagi kalau bukan dia?" kata gadis itu dengan alis berkerut. "Tenaga tusukan tongkat yang hebat" kata seorang. "Dan jejak kakinya tidak tampak, tak salah lagi, Pat-jiu Kai-ong (Raja Pengemis Berlengan Delapan), tentu telah lewat disini, dan baru saja. Hayo cepat kita mengejarnya! Jangan sampai dia mendahului kita memasuki Hutan Seribu Bunga!" kata orang tertua di antara mereka, seorang berusia empat puluh tahun yang bermuka seperti harimau. Karena kini merasa yakin bahwa jejak lubang-lubang itu tentu terbuat oleh tongkat Pat-jiu kai-ong, maka tiga belas orang tokoh Bu-tong-pai itu mencabut senjata masing-masing dan tampaklah berkilaunya senjata tajam itu meluncur ke depan ketika tiga belas orang itu mengerahkan ginkang mereka dan menggunakan ilmu berlari cepat melakukan pengejaran ke depan, ke arah jejak berlubang itu. Tak lama kemudian terdengarlah oleh mereka bunyi nyanyian kakek pengemis tadi. Tiga belas orang ini memperlambat larinya dan satu-satunya wanita diantara mereka mengomel lirih, "Hemm, dasar manusia iblis.
Selama hidupnya mengejar kesenangan dan demi kesenangan dia tidak segan melakukan hal-hal terkutuk yang kejamnya melebihi iblis sendiri! "Sssssttt, Sumoi, terhadap orang seperti dia kita harus berhati-hati. Semenjak dahulu, Bu-tong-pai tidak pernah bermusuhan dengan tokoh kang-ouw yang manapun juga, tidak pula mencampuri urusan mereka. Maka biarlah nanti kita bertanya dia secara baik-baik dan kalau tidak terpaksa sekali lebih baik kita menghindarkan pertempuran." Kata twa-su-heng (kakak seperguruan tertua) mereka. Semua sutenya mengangguk, akan tetapi sumoinya mengomel, "Siapakah yang takut kepadanya?" Dia melintangkan pedangnya. Memang nona yang bernama The Kwat Lin ini, terkenal berhati keras dan pemberani dan memang ilmu pedangnya hebat maka tidaklah mengherankan apabila diat terhitung seorang di antara Capsha Sin-hiap yang terkenal di dunia kang-ouw. "Sumoi, kita harus mentaati perintah Suhu, agar tidak membawa Bu-tong-pai menanam bibit permusuhan dengan golongan lain, baik kaum bersih maupun kaum sesat.
Karena itu, dalam pertemuan ini, serahkan saja kepadaku untuk mewakili kalian semua!" Karena maklum bahwa dia tidak boleh melanggar perintah gurunya dan bahwa twa-suheng ini selain paling lihai juga merupakan seorang yang mewakili Suhu mereka, Kwat Lin mengangguk biarpun bibirnya yang merah tetap cemberut tidak puas. Dia merasa tidak puas melihat sikap jerih yang diperlihatkan para suhengnya. Cap-sha Sin-hiap mempunyai nama besar di dunia kang-ouw, disegani kawan ditakuti lawan, masa sekarang berhadapan dengan seorang tokoh sesat saja kelihatan gentar? Suara nyanyian itu makin keras, tanda bahwa jarak di antara mereka dengan kakek itu makin dekat. Dengan ilmu meringankan tubuh yang hampir sempurna, tiga belas orang pendekar Bu-tong-pai itu dan dapat menyusul dan berkelebatlah tubuh mereka, dari kanan kiri dan atas, tahu-tahu mereka telah berdiri menghadap di depan kakek pengemis dengan sikap keren dan gagah sekali. Kakek pengemis itu masih melanjutkan nyanyiannya sambil berdiri memandang, dan ketika pandang matanya bertemu dengan wajah Kwat Lin, dia tidak meyembunyikan kekagumannya.
Setelah nyanyiannya berhenti, barulah dia tersenyum dan berkata, "Eh-eh, apakah kalian ini serombongan pemain akrobat yang hendak menjual kepandaian? Aku seorang pengemis tidak mempunyai uang untuk membayar upah kalian!" "Harap Locianpwe tidak berpura-pura lagi. Kami tahu bahwa Locianpwe adalah Pat-jiu-kai-pangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis Delapan Lengan) yang terhormat. Locianpwe adalah tokoh terkenal yang berjuluk Pat-jiu Kai-ong, bukan?" Kakek yang mukanya kelihatan sabar dan baik hati itu tersenyum, senyumnya juga simpatik dan ramah. Tiga belas orang pendekar Bu-tong-pai itu yang hanya baru mengenal nama kakek sakti kaum sesat ini, diam-diam merasa heran bahkan sangsi apakah benar mereka berhadapan dengan Pat-jiu Kai-ong yang kabarnya kejamnya seperti iblis, karena kakek ini kelihatan halus tutur sapanya dan begitu ramah! "Ha..ha..ha, sungguh sukar jaman sekarang ini untuk bersembunyi dan menyembunyikan diri. Orang-orang muda sekarang amat tajam penciumannya dan penglihatannya, biarpun belum pernah jumpa sudah mengenal orang. Orang-orang muda yang gagah dan cantik, dia memandang Kwat Lin lagi dengan kagum, "Tidak keliru dugaan kalian aku adalah Pat-jiu Kai-ong, seorang pengemis tua yang hanya memiliki sebatang tongkat butut ini. Tidak tahu siapakah kalian dan perlu apa kalian menghadang perjalananku?"
"Kami adalah Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai!" kata Kwat Lin dan karena sudah terlanjur, maka percuma saja twa-suhengnya mencegahnya dengan pandang matanya.
"Benar, kami adalah murid-murid Bu-tong-pai, Locianpwe," kata Twa-suheng itu dengan hati tidak enak karena sumoinya yang lancang itu ternyata telah membuka kartu dan mengaku bahwa mereka dari Bu-tongpai, berarti membawa-bawa nama perkumpulan mereka. "Ha..ha..ha, bagus. Memang Bu-tong-pai mempunyai banyak murid pandai, gagah dan cantik sepanjang kabar yang kudengar. Akan tetapi kalau tidak salah, aku tidak pernah berurusan dengan Bu-tong-pai." Melihat sikap kakek itu masih ramah dan kata-katanya juga halus dan tidak bermusuh, twa-suheng itu menjadi makin tidak enak. Akan tetapi karena dia maklum orang macam apa adanya kakek di depannya ini, dan betapa Sin-tong yang mereka dengar merupakan seorang anak ajaib yang luar biasa dan sudah menolong manusia dengan pengetahuan yang tepat mengenai khasiat tetumbuhan yang mengandung obat, maka tetap saja dia merasa khawatir akan keselamatan Sin-tong itu kalau sampai kakek datuk sesat ini bertemu dengan anak itu.
"Apa yang Locianpwe katakan memang benar. Di antara Locianpwe dengan Bu-tong-pai, tidak pernah ada urusan. Dan sekali ini, kami orang-orang muda dari Bu-tong-pai juga tidak berniat untuk menganggu Locianpwe yang terhormat. Hanya kami mendengar berita bahwa diantara banyak tokoh kang-ouw, Locianpwe juga berminat kepada anak kecil budiman yang terkenal dengan sebutan Sin-tong dan yang berdiam di dalam Hutan Seribu Bunga. Benarkah ini, dan apakah Locianpwe sekarang sedang menuju ke hutan itu?" Mulai berubah wajah kakek itu mendengar ucapan ini, senyumnya masih ada akan tetapi sepasang matanya yang tadinya berseri gembira itu kehilangan cahaya kegembiraannya dan berubah dengan sinar kilat yang mengejutkan mereka semua. "Hemmm, orang-orang muda yang lancang. Kalau benar aku hendak pergi mengunjungi Sin-tong, kalian mau apakah?" Tiga belas orang anak murid Bu-tong-pai itu sudah dapat "Mencium" keadaan yang membuat mereka semua siap siaga. Mereka melihat bahwa kakek yang kelihatannya halus budi itu dan ramah ini mulai memperlihatkan "tanduknya" atau watak sesungguhnya. "Locianpwe, kalau benar demikian, kami hanya mohon kepada Locianpwe agar tidak mengganggu Sintong." "Apamukah bocah itu?"
"Bukan apa-apa, Locianpwe. Namun mendengar betapa anak ajaib itu telah banyak menolong orang tanpa pandang bulu tanpa pamrih, maka sudahlah menjadi kewajiban semua orang gagah di dunia kang-ouw untuk menjaga keselamatannya." Perubahan hebat pada diri kakek itu. Kini senyumnya bahkan lenyap dan mulutnya menyeringai penuh sikap mengejek, matanya berkilat-kilat dan suaranya berubah kaku, ketus dan memandang rendah. "Anak-anak kurang ajar! Apakah Si Tua Bangka Kui Bho Sanjin yang mengutus kalian?" "Guru kami tidak tahu-menahu tentang ini. Kami kebetulan berada di daerah ini dan mendengar akan Sintong yang terancam bahaya, maka kami melihat Locianpwe lalu sengaja hendak bertanya. Tentu saja kalau Locianpwe tidak menghendaki Sin-tong, kami pun sama sekali tidak kurang ajar dan kami mohon maaf sebanyaknya." "Aku memang menuju ke Hutan Seribu Bunga. Mengapa kalian menyangka bahwa aku akan mencelakai Sin-tong?" Tiga belas pendekar Bu-tong-pai itu makin tegang. Kakek ini sudah mulai berterus terang, maka tiada salahnya kalau mereka bersikap waspada dan berterus terang pula. "Siapa yang tidak mendengar bahwa Pat-jiu Kai-ong sedang menyempurnakan ilmu iblis yang disebut Hiat-ciang-hoat-sut (Ilmu Hitam Tangan Darah)?" Tiba-tiba Kwat Lin berseru sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka kakek itu. Para suhengnya terkejut, akan tetapi ucapan telah terlanjur dikeluarkan dan memang dalam hati mereka terkandung tuduhan ini.
Ilmu Hiat-ciang hoat-sut adalah semacam ilmu hitam yang hanya dapat dipelajari oleh kaum sesat karena ilmu ini membutuhkan syarat yang amat keji, yaitu menghimpun kekuatan hitam dengan jalan menghisap dan minum darah, otak dan sumsum anak-anak yang masih bersih darahnya! Tentu saja bagi seorang yang sedang menyempurnakan ilmu iblis ini, Sin-tong mempunyai daya tarik yang luar biasa, karena darah, otak dan sumsum seorang bocah seperti Sin-tong yang ajaib, lebih berharga dari darah, otak dan sumsum puluhan orang bocah biasa lainnya!. Tiba-tiba kakek itu tertawa lebar. Hah-hah-hah-hah, memang benar! Dan satu-satunya bocah yang akan menyempurnakan ilmuku itu adalah Sin-tong! Dan aku bukan hanya suka minum dan menghisap darah, otak dan sumsum bocah yang bersih, juga aku bukannya tidak suka bersenang-senang dengan perawan cantik seperti engkau, Nona!" "Singggg! Singggg...!" Tampak sinar-sinar berkilauan ketika pedang yang tiga belas buah banyaknya itu bergerak secara berbarengan dan tiga belas orang pendekar itu telah mengurung si Kakek yang masih tertawa-tawa. "Heh-heh, kalian mau coba-coba main-main dengan Pat-jiu Kai-ong? Sayang kalian masih muda-muda harus mati, kecuali Nona manis.
Andaikata Si Tua Bangka Kui Bhok Sanjin berada disini sekalipun, dia juga tentu akan mampus kalau berani menentang Pat-jiu Kai-ong!" "Serbu dan basmi iblis ini!" Twa-suheng itu berteriak dan mereka sudah menerjang maju dengan bermacam gerakan yang cepat dan dahsyat. Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara pekik yang dahsyat, pekik yang disusul dengan suara tertawa menyeramkan. Suara ketawa ini bergema di seluruh hutan, sehingga terdengar suara ketawa menjawabnya dari semua penjuru, seolah-olah semua setan dan iblis penjaga hutan telah datang oleh panggilan kakek itu. Hebatnya, suara pekik dan tertawa itu membuat tiga belas orang pendekar itu seketika seperti berubah menjadi arca, gerakan mereka terhenti dan untuk beberapa detik mereka hanya bengong memandang kakek itu dan jantung mereka seolah-olah berhenti berdenyut.
Twa-suheng mereka yang bermuka gagah perkasa itu segera berseru, "Awas. Saicu-hokang (Ilmu menggereng seperti singa berdasarkan khikang)!" Seruan ini menyadarkan para sutenya dan sumoinya. Mereka cepat mengerahkan sinking sehingga pengaruh Saicu-hokang itu membuyar. Pedang mereka melanjutkan gerakannya. "Sing-sing.... siuuuut.... trang-trang-trang..Heh-heh-heh!" Gulungan sinar pedang-pedang yang menyambar ke arah tubuh kakek dari berbagai jurusan, dapat ditangkis oleh gulungan sinar tongkat hitam yang telah diputar dengan cepatnya oleh Pat-jiu kai-ong.
Para pendekar Bu-tong-pai itu terkejut ketika merasakan betapa telapak tangan mereka menjadi panas dan nyeri setiap kali pedang mereka tertangkis tongkat. Hal ini menandakan bahwa Si kakek benar-benar amat lihai dan memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Juga tongkatnya yang kelihatan butut dan hitam itu ternyata terbuat dari logam pilihan sehingga mampu menahan ketajaman pedang di tangan mereka, padahal semua pedang di tangan Cap-sha Sin-hiap adalah pedang-pedang pusaka yang ampuh. "Ha..ha..ha, inikah Ngo-heng-kiam (Ilmu Pedang Lima Unsur) dari Bu-tong-pai yang terkenal? Ha..ha, tidak seberapa!" Sambil menggerakan tongkatnya menangkis setiap sinar pedang yang meluncur datang, kakek itu tertawa dan mengejek. "Bentuk Sin-kiam-tin (Barisan Pedang Sakti)!" Teriak si Twa-suheng melihat betapa kakek itu benar-benar amat tangguh sehingga semua serangan pedang mereka dapat ditangkis dengan mudahnya. Tiba-tiba tiga belas orang pendekar itu merobah gerakan mereka, kini mereka tidak lagi menyerang dari kedudukan tertentu, melainkan mereka bergerak mengurung dan mengelilingi kakek itu, sambil bergerak berkeliling mereka menyusun serangan berantai yang susul menyusul dan yang datangnya dari arah yang tidak tertentu.
Diam-diam kakek itu terkejut. Sejenak dia menjadi bingung. Kalau tadi mereka itu menyerangnya dari kedudukan tertentu, biarpun gerakan mereka tadi berdasarkan Ngo-heng-kiam, namun dia sudah dapat mengenal dasar Ngo-heng-kiam dan dapat menggerakan tongkat secara otomatis untuk menangkis semua pedang yang dating menyambar. Akan tetapi sekarang, sukar sekali menentukan dari mana serangan akan dating, dan gerakan mengelilinginya itu benar-benar mendatangkan rasa pusing. Marahlah Pat-jiu Kai-ong. Tadi dia ingin mempelajari ilmu pedang Bu-tong-pai dan memperhatikan para pengeroyoknya sebelum membunuh mereka. Akan tetapi setelah mereka menggunakan Sin-kiam-tin dia tahu behwa mereka kalau dia tidak cepat mendahului mereka, dia bisa terancam bahaya. Tidak disangkanya bahwa Si Tua Bangka Kui Bhok San-jin, ketua dari Bu-tong-pai dapat menciptakan barisan pedang yang demikian lihainya. Tiba-tiba terjadi perubahan pada diri kakek ini. Tangan kirinya berubah menjadi merah sekali, merah darah! "Hati-hati terhadap Hiat-ciang Hoat-sut!" Si Twa-suheng berseru keras ketika melihat perubahan warna tangan kiri kakek itu.
Pat-jiu Kai-ong tiba-tiba mengeluarkan pekik yang amat dahsyat, lebih dahsyat daripada tadi dan tubuhnya mendadak membalik, tongkatnya menyambar dibarengi tangan kiri merah itu mendorong ke depan. "Prak-prak...dessss!" Tiga orang pengeroyok menjerit dan roboh, dua orang dengan kepala pecah oleh tongkat, sedangkan seorang lagi terkena pukulan jarak jauh Hiat-ciang Hoat-sut, roboh dan tewas seketika dengan dadanya tampak ada bekas lima jari merah seperti terbakar, bahkan bajunya robek dan hangus. Itulah Hiat-ciang Hoat-sut, pukulan maut yang mengerikan. Padahal ilmu itu masih belum sempurna, dapat dibayangkan betapa hebatnya kalau kakek ini berhasil menghisap darah, otak dan sumsum seorang bocah ajaib seperti Sin-tong!. Sepuluh orang pendekar Bu-tong-pai terkejut dan marah sekali. Mereka melanjutkan serangan dengan penuh semangat dan penuh dendam.
Namun kembali Pat-jiu Kai-ong memekik dahsyat sambil bergerak menyerang, dan kembali tiga orang lawan roboh dan tewas. Serangan ini diulanginya terus, tidak memberi kesempatan kepada para pengeroyoknya untuk membebaskan diri. Empat kali terdengar dia memekik dahsyat seperti itu dan akibatnya, dua belas orang diantara Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai itu tewas semua, tewas dalam keadaan masih menggurungnya dan yang masih hidup tinggal The Kwat Lin seorang! Hal ini memang disengaja oleh Pat-jiu Kai-ong dan kini sambil tersenyum mengejek dia menghadapi Kwat Lin. Dapat dibayangkan betapa perasaan dara itu melihat dua belas orang suhengnya telah tewas semua! Dua belas orang suhengnya yang selama ini berjuang sehidup semati dengannya, kini telah menjadi mayat yang bergelimpangan di sekelilingnya, seolah-olah mayat dua belas orang itu mengurung dia dan Pat-jiu Kai-ong yang berdiri tersenyum di depannya.
"Iblis busuk, aku akan mengadu nyawa denganmu!" Kwat Lin berseru mengandung isak tertahan.
"Haiiiit.....!" tubuhnya melayang ke depan, pedangnya ditusukkan ke arah dada lawan dengan kebencian meluap-luap. Namun dengan gerakan seenaknya kakek itu memukulkan tongkatnya dari samping menghantam pedang yang menusuknya. "Krekkk!" Pedang itu patah dan gagangnya terlepas dari pegangan Kwat Lin! Dara itu membelalakan matanya dan melihat pandang mata kakek itu kepadanya, melihat senyum yang baginya amat mengerikan itu, tiba-tiba dia membalikan tubuhnya dan melayang ke arah sebatang pohon besar, dengan niat untuk membenturkan kepalanya pecah pada batang pohon itu! Kwat Lin melihat ancaman bahaya yang lebih mengerikan daripada maut sendiri, maka setelah yakin bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan lawannya, dia mengambil keputusan nekat untuk membunuh diri dengan membenturkan kepalanya pada batang pohon.
"Bukkkkkk!" Bukan batang pohon yang dibentur kepalanya, melainkan perut lunak dan tubuhnya berada dalam pelukan Pat-jiu Kai-ong yang entah kapan telah berada di situ menghadangnya di depan pohon! "Lepaskan aku!!" Kwat Lin berteriak dan tubuhnya tiba-tiba dilontarkan oleh kakek itu, jauh kembali ke dalam lingkaran mayat-mayat suhengnya. Dengan langkah gontai, kakek itu tersenyum-senyum memasuki lingkaran dan melangkahi mayat bekas para penggeroyoknya, menghampiri Kwat Lin yang sudah bangkit duduk dengan muka pucat dan mata terbelalak. Dia telah tersudut seperti seekor kelinci muda ketakutan menghadapi seekor harimau yang siap menerkamnya. Perasaan ngeri yang luar biasa membuat Kwat Lin cepat menggerakan tangan kanannya, dengan dua buah jari tangan dia menusuk ke arah ubun-ubun kepalanya sendiri sambil mengerahkan sinking.
Batu karang saja akan berlubang terkena tusukan jari tangannya seperti itu apa lagi ubun-ubun kepalanya. "Plakkk!" "Aihhh....!" Kwat Lin menjerit ketika tangannya itu tertangkis dan setengah lumpuh. Ternyata kakek itu telah berdiri di depannya dan telah mencegah dia membunuh diri! "Bretttt...bretttt....!" Tongkat kakek itu bergerak beberapa kali dan seperti disulap saja seluruh pakaian yang membungkus tubuh Kwat Lin cabik-cabik dan cerai-berai, membuatnya menjadi telanjang bulat sama sekali! Kwat Lin menjerit akan tetapi tiba-tiba, seperti seekor kucing menerkam tikus, sambil mengeluarkan suara ketawa menyeramkan, kakek itu telah menubruk dan memeluknya sehingga mereka berdua bergulingan diatas rumput yang bernoda darah para korban keganasan kakek itu! Kwat Lin melawan sekuat tenaga, namun sia-sia belaka.
Untuk membunuh diri tidak ada jalan baginya, untuk melawan pun percuma, bahkan semua jeritan tangis dan permohonan, semua usahanya meronta-ronta tiada gunanya sama sekali. Bahkan semua usaha ini malah menyenangkan hati si Kakek. Seolah-olah seekor kucing yang menjadi gembira dapat mempermankan seekor tikus yang telah tersudut dan tidak berdaya, mempermainkannya dan melihatnya tersiksa dan meronta sebelum menjadi mangsanya! Selama tiga hari tiga malam Kwat Lin menderita siksaan yang amat hebat. Diperkosa, dihina, diejek. Pada hari ketiga,pagi-pagi sekali dalam keadaan lebih banyak yang mati daripada yang hidup, dalam keadaan setengah sadar, rebah terlentang tak mampu bergerak, hanya matanya saja yang mendelik memandang kakek itu. Kwat Lin melihat kakek itu mengenakan pakaian, menyambar tongkatnya dan tertawa memandang kepadanya yang masih rebah terlentang dalam keadaan telanjang bulat di atas rumput berdarah. "Ha-ha-ha, sekarang aku pergi, manis.
Aku telah puas, dan kalau kau mau membunuh diri, silahkan. Ha-ha-ha!" Biarpun Kwat lin berada dalam keadaan menderita hebat, kehabisan tenaga, hampir mati karena lelah, muak, jijik, malu, marah dan dendam tercampur aduk menjadi satu dalam benaknya, namun kebencian yang meluap-luap masih memberinya tenaga untuk berseru, "Jahanam, sekarang aku harus hidup! Aku harus hidup untuk melihat engkau mampus di tanganku!" "Ha..ha..ha..ha! Kalau sewaktu-waktu kau merasa rindu kepadaku, manis, datang saja ke Hong-san, sampai jumpa!" Kakek itu lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu meninggalkan Kwat-Lin yang masih rebah dan kini wanita yang bernasib malang ini menangis sesenggukan dia antara mayat-mayat dua belas suhengnya yang sudah mulai membusuk dan berbau! Dapat dibayangkan betapa tersiksa rasa badan wanita muda ini.
Dia dipaksa, diperkosa, dihina di antara mayat-mayat dua belas suhengnya, bahkan sewaktu keadaan mayat-mayat itu mulai membusuk dan menyiarkan bau yang hampir tak tertahankan, kakek itu masih saja enak-enak mempermainkannya. Benar-benar seorang manusia yang kejam melebihi iblis sendiri.
JILID 2
Tiba-tiba Kwat lin bangkit serentak, seolah-olah ada tenaga baru memasuki tubuhnya yang menderita nyeri, lelah dan kelaparan karena selama tiga hari tiga malam dia dipermainkan tanpa diberi makan atau minum oleh kakek iblis itu. Dia berdiri tegak, telanjang bulat, lalu memandang ke arah semua mayat suhengnya, dan matanya menjadi liar, keluar suara parau dari mulutnya yang pecah-pecah bibirnya oleh gigitan kakek iblis. "Suheng sekalian, dengarlah! Aku The Kwat Lin, bersumpah untuk membalaskan kematian suheng sekalian. Satu-satunya tujuan hidupku sekarang hanyalah untuk membalas dendam dan membunuh iblis busuk Pat-jiu Kai-ong!" Tiba-tiba dia terhuyung mundur memandang wajah twasuhengnya. Pria inilah sebetulnya yang sudah sejak dahulu mencuri hatinya.
"Twa Suheng......!" Dia menubruk dan berlutut di dekat mayat yang sudah mulai membusuk itu. "Jangan berduka, Twa-suheng....jangan menangis......" Dia berdiri sesunggukan. "Apa.....? Aku telanjang.....? Pakaianmu......? Seperti orang gila yang bicara dengan sesosok mayat, Kwat Lin bertanya, kemudian dia membuka baju dan celana luar dari mayat yang sudah kaku kejang itu dengan agak susah, dan mengenakan pada tubuhnya sendiri. Tentu saja agak kebesaran. "Hi-hi-hik, pakaianmu kebesaran, Suheng......." Dia memandang wajah mayat twa-suhengnya dan tertawa lagi.
"Hi-hik, nah, begitu, tertawalah Twa-suheng, tertawalah para suheng sekalian......, tertawa dan bergembiralah karena dendam kalian pasti akan kubalaskan...! Hi-hi-hik... hu-hu-huuuhhh..." Dia menangis lagi terisak-isak dan dengan terhuyung-huyung dia meninggalkan tempat mengerikan itu setelah mengambil pedang twa-suhengnya. Pedang itu adalah pedang pusaka terbaik di antara pedang ketiga belas orang pendekar Bu-tong-pai itu, sebatang pedang pemberian Ketua Bu-tong pai sendiri, pedang yang di dekat gagangnya ada gambar setangkai bunga Bwee merah, maka pedang itu diberi nama Ang-bwe-kiam (Pedang Bunga Bwee Merah).
Dia terhuyung-huyung, pergi tak tentu tujuan, asal menggerakkan kedua kaki melangkah saja, langkah yang kecil-kecil dan terhuyung-huyung karena tubuhnya masih terasa lelah, lapar dan sakit semua. Kadang-kadang terdengar dia terisak menangis, kemudian terkekeh geli sehingga kalau ada orang yang bertemu dengan wanita yang bibirnya pecah-pecah mukanya penuh debu dan air mata, matanya membengkak dan merah, rambutnya riap-riapan dan pakaiannya terlalu besar, ini tentu orang itu akan merasa seram, mengira bahwa setidaknya dia adalah seorang wanita gila.
Dugaan ini memang tidak meleset terlalu jauh. Penderitaan lahir batin yang melanda diri Kwat Lin membuat wanita malang ini tidak kuat menahan sehingga terjadi perubahan pada ingatannya. Pada hari yang sama ketika Cap-sha Sin-hiap roboh di tangan kakek iblis Pat-jiu Kai-ong di kaki Pegunungan Jeng-hoa-san, terjadi pula peristiwa hebat di bagian lain dari Pegunungan itu. Kalau Cap-sha Sin-hiap roboh di daerah timur pegunungan, maka di daerah barat terjadi pula peristiwa yang hampir sama sungguhpun sifatnya berbeda. Pada pagi hari itu, seorang wanita berjalan seorang diri mendaki lereng pertama dari pegunungan Jeng-hoasan sebelah barat. Wanita itu memasuki hutan dengan wajah berseri dan harus diakui bahwa wajah wanita cantik manis sekali, mempunyai daya tarik yang kuat sungguhpun usianya sudah empat puluh tahun.
Tidak ada keriput mengganggu kulit mukanya yang putih halus, mulutnya yang agak lebar itu mempunyai bibir yang senantiasa menantang dan seolah-olah buah masak yang sudah pecah, akan tetapi kalau orang memperhatikan matanya, mata yang jernih dan bersinar tajam, maka hati yang kagum akan kecantikannya tentu akan berubah menjadi ragu-ragu, curiga dan ngeri karena sepasang mata itu tidak pernah, atau jarang sekali berkedip. Mata itu terbuka terus seperti mata boneka! Dengan langkah-langkah gontai dan lemas, membuat buah pinggulnya menonjol dan bergoyang ke kanan kiri, wanita itu berjalan seorang diri, memutar-mutarsebuah payung yang dipanggulnya.
Sebuah payung hitam yang tertutup, gagangnya melengkung dan ujungnya meruncing. Pakaiannya serba mewah dan indah, rambutnya panjang sekali, digelung ke atas seperti sebuah menara hitam yang indah, terhias tusuk sanggul dari mutiara dan emas. Yang menarik adalah kuku-kuku jari tangannya. Kuku yang panjang terpelihara, diberi warna merah, panjang meruncing dan agak melengkung seperti kuku kucing atau harimau. Pakaiannya yang mewah itu dibuat terlalu pas dengan tubuhnya sehingga membungkus ketat tubuh itu, membayangkan lekuk lengkung yang menggairahkan dari dada sampai ke kaki karena celananya yang terbuat dari sutera merah muda itu pun ketat sekali! Biarpun kelihatannya seperti seorang wanita cantik dan genit (tante girang), namun sesungguhnya dia bukanlah manusia biasa saja!
Inilah dia yang terkenal sekali di dunia hitam kaum penjahat, karena wanita ini bukan lain adalah Kiam-mo Cai-li (Wanita Pandai Berpayung Pedang), sebuah julukan yang membuat bulu tengkuk orang yang sudah mengenalnya berdiri sangking ngerinya karena wanita yang sebenarnya hanya bernama Liok Si ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi mengerikan dan kekejaman yang sukar dicari bandingnya! Bahkan ia disamakan dengan wanita cantik penjelmaan siluman rase yang biasa mengganggu pria, dan setiap orang pria yang terjebak dalam pelukannya tentu akan mati kehabisan darah, disedot habis oleh siluman ini! Tentu saja bagi mereka yang belum pernah berjumpa dengannya, sama sekali tidak akan mengira bahwa wanita yang berlenggak-lenggok dengan payung di pundak itulah iblis wanita yang menggeggerkan dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang luar biasa.
Dan mudah saja diduga mengapa pada hari itu Kiam-mo Cai-li ini mendaki lereng Jeng-hoa-san! Tentu saja dia pun mendengar berita menggeggerkan dunia kang-ouw akan adanya Sin-tong, Si Bocah ajaib dan mendengar ini, kontan keras hatinya berdebar-debar penuh ketegangandan penuh birahi! Dia dapat membayangkan betapa tenaga mukjijat yang dihimpunnya secara ilmu hitam dengan jalan menghisap sari tenaga ratusan orang pria, akan meningkat dengan hebat sekali kalau dia bisa menghisap kejantanan si Bocah Ajaib itu! Maka begitu mendengar akan bocah ajaib di puncak Pegunungan Jeng-hoasan di dalam Hutan Seribu Bunga, dia segera menempuh perjalanan jauh mengunjungi pegunungan itu. Perjalananyang jauh karena biarpun sering kali Liok Si ini pergi merantau namun dia memiliki sebuah pondok kecil seperti istana mewahnya terletak di tempat yang tidak lumrah dikunjungi manusia, yaitu di daerah Rawa Bangkai.
Rawa-rawa yang liar ini terdapat di kaki Pegunungan Luliang-san, merupakan daerah maut karena banyak lumpur dan pasir yang berputar, merupakan perangkap maut bagi manusia dan hewan. Namun di tengah-tengah rawa-rawa itu, yang tidak dapat dikunjungi oleh manusia lain, terdapat sebuah tanah datar, tanah keras semacam pulau dan diatas pulau inilah letaknya istana kecil milik Liok Si yang berjuluk Kiam-mo Cai-li, bersama belasan orang pembantu-pembantuyang sudah menjadi orangorang kepercayaannya. Dia disebut Cai-li(Wanita Pandai) karena sebetulnya wanita ini dulunya adalah puteri seorang sasterawan kenamaan dan semenjak kecil Liok Si telah mempelajari kesusasteraan sehingga dia mahir sekali akan sastra, bahkan dia pernah menyamar sebagai pria menempuh ujian pemerintah sehingga dia lulus dan mendapat gelar siucai!
Akan tetapi, penyamarannya keetahuan dan seorang pembesar tinggi istana yang kagum kepadanya lalu mengambilnya sebagai seorang selir. Selain ilmu sastra, juga Liok Si ini semenjak kecil digembleng ilmu oleh para sahabat ayahnya, apalagi setelah menjadi selir pembesar tinggi di istana, dia mengadakan hubungan dengan kepala-kepala pengawal, dengan pengawal-pengawal kaisar yang berilmu tinggi, menyerahkan tubuhnya sebagai pengganti ilmu silat-ilmu silat tinggi yang diperolehnya sebagai "bayaran". Akhirnya, pembesar itu mengetahui akan tabiat selirnya ini yang ternyata adalah seorang wanita yang gila pria maka dia diusir dari istana pembesar itu. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh wanita ini? Dia membunuh Si Pembesar, membawa banyak harta benda yang dicurinya dari istana itu, kemudian minggat! Belasan tahun kemudian, muncullah nama julukan Kiam-mo Cai-li, namun tidak ada yang menduga bahwa dia adalah Liok Si yang dahulu menjadi selir bangsawan dan yang membunuh bangsawan itu sehingga menjadi orang buruan pemerintah.
Liok Si berjalan sambil tersenyum-senyum, kadang-kadang senyumnya melebar dan tampak giginya yang putih mengkilat dan di kedua ujungnya terdapat sebuah gigi yang agak meruncing sehingga sekelebatan mirip gigi caling sihung. Hatinya gembira sekali kalau dia membayangkan betapa akan sedapnya kalau dia dapat memperoleh bocah ajaib itu. "Hemmm, aku harus bersikap halus dan hati-hati terhadapnya, menikmatinya selama mungkin. Hemmm..." Tiba-tiba dia terkejut dan menghentikan langkahnya, akan tetapi kembali dia tersenyum manis matanya mengerling tajam penuh kegairahan ketika melihat lima orang laki-laki berdiri di depannya dengan sikap gagah.
Pandang matanya menyambar-nyambar dan terbayang kepuasan dan kekaguman. Memang, hati seorang wanita gila pria seperti Liok Si tentu saja menjadi berdebar tegang ketika melihat lima orang pria yang usianya rata-rata tiga puluh tahun lebih bertubuh tegap-tegap dan rata-rata berwajah tampan dan gagah! Seperti melihat lima butir buah yang ranum dan matang hati! "Aih-aihh... Siapakah Ngo-wi (Anda berlima) yang gagah perkasa ini? Dan apakah Ngo-wi sengaja hendak bertemu dan bicara dengan aku?" Seorang di antara mereka, yang usianya tiga puluh tahun, mukanya bulat dan alisnya seperti golok hitam dan tebal, berkata, "Apakah kami berhadapan dengan Kiam-mo Cai-li dari Rawa Bangkai?" Wanita itu memainkan bola matanya memandangi wajah merka berganti-ganti dengan berseri, mulunya tersenyum ketika menjawab, "kalau benar mengapa? Kalian ini siapakah?" "Kami adalah Kee-san Ngo-hohan(Lima Pendekar dari Gunung Ayam)".
"Kiam-mo Cai-li mengeluarkan bunyi "tsk-tsk-tsk" dengan lidahnya tanda kagum. Segera dia menjura dan berkata manis. "Aih, kiranya lima pendekar yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai murid-murid utama Hoa-san-pai? Aih, terimalah hormatnya seorang wanita bodoh seperti aku." "Harap Toanio(Nyonya) tidak mengejek dan bersikap merendah. Kami sudah tahu siapa adanya Kiam-mo Cai-li, dan karena melihat engkau mendaki Jeng-hoa-san, maka terpaksa kami memberanikan diri untuk menghadang." "Ehm...! Maksud kalian?" Senyumnya makin manis dan kerling matanya makin memikat. "Kami telah mendengar akan berita bahwa tokoh-tokoh kang-ouw sedang berusaha untuk memperebutkan Sin-tong yang berada di Hutan Seribu Bunga dan kami mendengar pula bahwa Kiam-mo Cai-li merupakan seorang di antara mereka yang hendak menculik Sin-tong. Karena kami telah berhutang budi, diberi obat oleh Sin-tong maka kami hanya dapat membalas budinya dengan melindunginya terutama dari tangan... maaf, para tokoh kaum sesat yang tentu tidak mempunyai itikad baik terhadap dirinya. Andaikata kami tidak berhutang budi sekalipun, mengingat bahwa Sin-tong adalah seorang anak ajaib yang telah banyak menolong orang tanpa pandang bulu, sudah menjadi kewajiban orang-orang gagah untuk melindunginya."
Kembali Kiam-mo Cai-li tersenyum. "Terus terang saja, memang aku mendengar tentang Sin-tong dan aku ingin mendapatkannya, maka hari ini aku mendaki Jeng-hoa-san. Habis kalian mau apa?" Kalau begitu, kami minta dengan hormat agar kau suka membatalkan niatmu itu, Toanio. Kalau kau memaksa hendak menganggu Sin-tong, terpaksa kami akan merintangimu dan tidak membolehkan kau melanjutkan perjalanan!" "Hi-hi-hik, galak amat! Lima orang laki-laki muda tampan gagah bertemu dengan seorang wanita cantik penuh gairah, sungguh tidak semestinya kalu bermain senjata mengadu nyawa!" "Hemm, habis semestinya bagaimana?" tanya orang pertama dari Kee-san Ngo-hohan yang betapapun juga merasa jerih mendengar nama besar wanita ini dan mengharapkan wanita itu akan mengalah dan pergi dari situ, tidak mengganggu Sin-tong. Mata itu tajam mengerling dan senyumnya penuh arti, bibirnya penuh tantangan. "Mestinya? Mestinya kita bermain cinta memadu kasih!" "Perempuan hina!" "Jalang!"